Sabtu, 12 Januari 2013

JAMAN PAJAJARAN (1482 - 1579) (1)




A. KAWALI IBUKOTA BARU

1. Pusat Pemerintahan berpindah-pindah


Bila rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tumbuh secara bersangsur-angsur, ini mudah dipahami karena banyaknya kelompok etnik yang menjadi penduduk Indonesia. Rasa kesatuan etnik Sunda di Jawa Barat pun tidak tumbuh serempak, melainkan berangsur-angsur.

Telah dikemukakan bahwa keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun 852 Tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar PRABU DARMARAKSA BUANA. Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 - 895) dibunuh oleh seorang menteri
Sunda yang fanatik.

Karena peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.

Ayah Sri Jayabupati berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi puteranya berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan raja ke-25, yaitu PRABU GURU DARMASIKSA mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Puteranya (PRABU RAGASUCI) berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.

[Proses kepindahan seperti ini memang merepotkan (menurut pandangan kita), namun pengaruh positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan etnik di Jawa Barat. Antara Galuh dengan Sunda memang terdapat kelainan dalam hal tradisi. Anwas Adiwijaya (1975) mengungkapkan bahwa orang Galuh itu "orang air", sedang orang Sunda "Orang Gunung". Yang satu memiliki "mitos buaya", yang lain "mitos harimau".]

[Di daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa tempat yang bernama PANEREBAN. Tempat yang bernama demikian pada masa silam merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus "dilarung" (dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang KANEKES yang masih menyimpan banyak sekali "sisa-sisa" tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah. Tradisi "nerebkeun" di sebelah timur dan tradisi "ngurebkeun" di sebelah barat (membekas dalam istilah PANEREBAN dan PASAREAN)].

[Peristiwa sejarah telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini menjadi satu "Orang Air" dengan "Orang Gunung" itu menjadi akrab dan berbaur seperti dilambangkan oleh dongen "SAKADANG KUYA jeung SAKADANG MONYET" (kura-kura dan monyet). Dongeng yang khas Sunda ini sangat mendalam dan meluas dalam segala lapisan msyarakat, padahal mereka tahu, bahwa dalam kenyataan sehari-hari Monyet dan Kuya (kura-kura) itu bertemu saja mugkin tidak pernah (di Kebun Binatang pun tidak pernah diperkenalkan).

Dalam abad ke-14 sebutan SUNDA itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat, baik dalam pengertian WILAYAH maupun dalam pengertian ETNIK. Menurut PUSTAKA PARATWAN i BHUMI JAWADWIPA, parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan oleh Purnawarman untuk Ibukota Tarumanagara yang baru didirikannya (SUNDAPURA). Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya karena SUNDAPURA mengandung arti KOTA SUCI atau KOTA MURNI, sedangkan GALUH berarti PERMATA atau BATU MULIA (secar kiasan berarti GADIS)].

2. Peran bergeser ke timur

Dalam abad ke-14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu KAWALI (arti Kuali atau Belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan dengan Kawali. Dua orang Raja Sunda dipusarakan di WINDURAJA (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).

Sebenarnya gejala pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai nampak sejak masa pemerintahan PRABU RAGASUCI (1297 - 1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (PRABU DARMASIKSA), ia tetap memilih SAUNGGALAH sebagai pusat pemerintahan karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya PRABU CITRAGANDA, sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.

[RAGASUCI sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya RAKEYAN JAYADARMA. Menurut PUSTAKA RAJYARAJYA i BHUMI NUSANTARA parwa II sarga 3, JAYADARMA adalah menantu MAHISA CAMPAKA di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan DYAH SINGAMURTI alias DYAH LEMBU TAL. Mereka berputera SANG NARARYA SANGGRAMAWIJAYA atau lebih dikenal dengan nama RADEN WIJAYA (lahir di PAKUAN). Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam BABAD TANAH JAWI, Wijaya disebut pula JAKA SUSURUH dari PAJAJARAN yang kemudian menjadi Raja MAJAPAHIT yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur]

Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci sebagai calon ahli warisnya yang bernama CITRAGANDA. Permaisuri Ragasuci adalah DARA PUSPA (Puteri Kerajaan Melayu) adik DARA KENCANA isteri KERTANEGARA. Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama 6 tahun di Pakuan (ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah). Dari 1303 sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.

PRABU LINGGA DEWATA (putera Citraganda) mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti, menantunya PRABU AJIGUNA WISESA (1333 - 1340) sudah berkedudukan di Kawali dan sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa disebut bahwa tahun 1333 - 1482 adalah JAMAN KAWALI dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal 5 orang raja.

Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan PRABU RAJA WASTU yang tersimpan di "ASTANA GEDE" Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut SURAWISESA yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).

Prabu Raja Wastu atau NISKALA WASTU KANCANA adalah putera PRABU MAHARAJA LINGGA BUANA yang gugur di medan BUBAT dalam tahun 1357. Ketika terjadi PASUNDAN BUBAT usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya MANGKUBUMI SURADIPATI atau PRABU BUNISORA (ada juga yang menyebut PRABU KUDA LALEAN, dalam BABAD PANJALU disebut PRABU BOROSNGORA. Selain itu ia pun dijuluki BATARA GURU di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas.

Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah LARA SARKATI puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir SANG HALIWUNGAN (setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar PRABU SUSUKTUNGGAL). Permaisuri yang kedua adalah MAYANGSARI puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinan ini lahir NINGRAT KANCANA (setelah menjadi penguasa Galuh bergelar PRABU DEWA NISKALA).

Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana. [JAYADEWATA, putera Dewa Niskala], mula-mula memperistri AMBETKASIH (puteri KI GEDENG SINDANGKASIH), kemudian memperistri SUBANGLARANG (puteri KI GEDENG TAPA yang menjadi Raja Singapura). [Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok QURO di PURA, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid SYEKH HASANUDIN yang menganut MAHZAB HANAFI. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama 2 tahun. Ia adalah nenek SYARIF HIDAYATULLAH] Kemudian Jayadewata mempersitri KENTRING MANIK MAYANG SUNDA puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan]

3. Ibukota kembali ke Pakuan

Kejatuhan PRABU KERTABUMI (BRAWIJAYA V) Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah RADEN BARIBIN saudara seayah PRABU KERTABUMI. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan RATNA AYU KIRANA (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang istrinya), adik RADEN BANYAK CAKRA (KAMANDAKA) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan. [Dalam Carita Parahiyangan disebutkan "estri larangan ti kaluaran". Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut "perundang-undangan" waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan]

Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan


Bersambung...

(Bagan I). PEMDA Sumber: Saleh Danasasmita. 1983. Sejarah Bogor DT II Bogor.

0 komentar:

Posting Komentar