BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Setiap anak dilahirkan kedunia ini dalam keadaan fitrah,
artinya manusia lahir membawa fitrah beragama dan potensi berbuat baik. Fitrah
inilah yang membedakan antara manusia dan makhluk Allah lainnya. Fitrah dan
potensi yang sudah ada semenjak dilahirkan itu tidak akan berkembang secara
optimal tanpa adanya pemeliharaan dan bimbingan. Bimbingan
untuk pengembangan fitrah dan potensi yang masih berupa bibit atau benih itu
dapat melalui proses pendidikan. Seorang anak harus dipandu dan diarahkan agar
mereka tidak menyimpang dari fitrah dan potensinya yang sudah mereka bawa
semenjak lahir dengan memberikan pendidikan.
Kegiatan dan proses pendidikan dapat terjadi dalam tiga
lingkungan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga lingkungan ini harus
bekerja sama dan saling mendukung untuk hasil yang maksimal dalam membentuk
kepribadian seorang anak yang baik dan sholeh. Lingkungan
pertama yang punya peran adalah lingkungan keluarga, disinilah anak dilahirkan,di
rawat dan dibesarkan. Disinilah proses pendidikan berawal, orang tua adalah
guru pertama dan utama bagi anak. Orang tua adalah guru agama, bahasa dan
sosial pertama bagi anak, kenapa demikian? Karena orang tua (ayah) adalah orang
yang pertama kali melafazdkan adzan dan iqomah ditelinga anak di awal
kelahirannya. Orang tua adalah orang yang pertama kali mengajarkan anak
berbahasa dengan mengajari anak mengucapkan kata ayah, ibu, nenek, kakek dan
anggota keluarga lainnya. Orang tua adalah orang yang pertama mengajarkan anak
bersosial dengan lingkungan sekitarnya.
Orang tua, ibu khususnya karena seorang ibu yang biasanya
punya banyak waktu bersama anak dirumah, bisa menjadi guru yang baik bagi
anak-anaknya, jika seorang ibu mampu mengarahkan, membimbing dan mengembangkan
fitrah dan potensi anak secara maksimal pada tahun-tahun pertama kelahiran anak
dimana anak belum disentuh oleh lingkungan lain, dalam artian anak masih suci.
Masa-masa anak hanya berinteraksi dengan anggota
keluarga, ini adalah saat yang tepat bagi orang tua untuk membentuk karakter
seorang anak. Orang tualah yang mengarahkan kehidupan anak dengan kebiasaan
yang dilakukan sehari-hari dirumah yang merupakan teladan bagi anak. Disadari atau tidak oleh orang tua, gerak-gerik dan tingkah laku mereka sehari-hari
yang setiap waktu bahkan setiap saat dilihat, dirasakan dan di dengar oleh anak
adalah proses belajar bagi mereka.
Kalau materi yang sering diterima anak baik, sebuah
keluarga yang harmonis, hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang, secara
otomatis unsur-unsur kebaikan itu akan tertransfer kedalam diri anak, disaat
itu bisa dikatakan orang tua telah berhasil menjadi seorang guru yang baik bagi anaknya. Namun jika materi yang sering
diterima anak tidak baik, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perhatian dan
kasih sayang yang kurang karena orang tua sibuk dengan urusan masing-masing,
ucapan-ucapan yang tidak baik, disaat itu orang tua telah gagal menjadi guru
pertama dan utama bagi anak.
Proses kehidupan dalam sebuah keluarga adalah proses
belajar pertama bagi anak sebelum mereka hidup dalam lingkungan yang lebih luas
yaitu sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, seharusnya setiap orang tua harus mampu
memanfaatkan masa-masa ini untuk mengembangkan potensi anak untuk membentuk
pribadi yang sempurna. Setiap
oarng tua selalu mengatakan dan berharap punya anak yang baik dan sholeh. Jadi
untuk mewujudkan keinginan dan harapan itu, jadilah orang tua sekaligus guru
bagi anak dirumah, dengan menyajikan materi-materi yang mereka butuhkan yaitu suasana
yang tenang tanpa pertengkaran dan kekerasan, kasih sayang dan perhatian yang
cukup dari sosok seorang ibu dan ayah (jadilah ayah dan ibu ideal bagi
anak-anak anda).
Selanjutnya pendidikan merupakan tanggung jawab bersama
antara keluarga masyarakat dan pemerintah. Sehingga orang tua tidak boleh
menganggap bahwa pendidikan anak hanyalah tanggung jawab sekolah. Orang
tua sebagai lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi sebagai
lembaga pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses
pendidikan. Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik bagi
anak-anaknya. Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama,
karena sebagian besar kehidupan anak adalah di dalam keluarga, sehingga
pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga. Menurut
Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang dasar-dasar ilmu pendidikan, bahwa
keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi dalam
perkembangan kepribadian anak dan mendidik anak di rumah serta fungsi
keluarga atau orang tua dalam mendukung pendidikan di sekolah.
Bagi seorang anak ,
keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan
perkembangannya. Menurut
resolusi Majelis Umum PBB fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk
mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya
agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan
kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga yang sejahtera.
Menurut pakar
pendidikan, William Bennett, keluarga
merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi
departemen kesehatan, pendidikan, dan
kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan
kejujuran, semangat, keinginan
untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit
sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Mengapa keluarga merupakan pendidik yang
pertama dan utama ?
2. Bagaimana Keluarga menjadi pendidik yang pertama dan
utama ?
1.3
Tujuan
1.
Menjelaskan
keluarga sebagai pendidik yang pertama dan utama.
2.
Menjelaskan
peranan keluarga dalam mendidik anak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Keluarga
Keluarga (bahasa Sansekerta: "kulawarga"; "ras" dan
"warga" yang berarti "anggota") adalah
lingkungan yang terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. Keluarga
sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar
individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu
tersebut.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas
kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat
di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Menurut Salvicion dan Celis
(1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang
tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di
hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam
perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
2.2
Peranan Keluarga Dalam
Pendidikan
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga
masyarakat dan pemerintah. Sehingga orang tua tidak boleh menganggap bahwa
pendidikan anak hanyalah tanggung jawab sekolah. Orang tua sebagai
lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi sebagai lembaga
pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses
pendidikan. Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik bagi
anak-anaknya. Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama,
karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan
yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga.
Menurut Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang dasar-dasar
ilmu pendidikan, “bahwa keluarga sebagai
lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi dalam perkembangan
kepribadian anak dan mendidik anak di rumah serta fungsi keluarga/orang tua dalam
mendukung pendidikan di sekolah”.
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat seperti kejahatan seksual, kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga.
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga yang sejahtera.
Menurut pakar pendidikan, William Bennett, keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi departemen kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidik karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut megawangi ada 3 kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepad orang lain (anak). Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya.
Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak.
Menurut Bowlby, normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya 1 orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya.
Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadapanaknya yang berusia dibawah 6 bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat seperti kejahatan seksual, kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga.
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga yang sejahtera.
Menurut pakar pendidikan, William Bennett, keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi departemen kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidik karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut megawangi ada 3 kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepad orang lain (anak). Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya.
Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak.
Menurut Bowlby, normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya 1 orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya.
Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadapanaknya yang berusia dibawah 6 bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.
Sedangkan Menurut Popov dan kawan-kawan (1997), orang
tua dapat berperan sebagai :
a. Educator yaitu bisa
menciptakan dan menyadari adanya teach able momentdalam keluarga.
b. Autority yaitu bisa
mengembangkan batas-batas normatif.
c. Guide yaitu
bisa share your skills kepada anak-anak.
d. Conselor yaitu mampu
memberi dukungan pada anak ketika mengalami dilema moral.
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan
pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada
anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagaipola interaksi antara anak dengan
orang tua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti: makan, minum, dan
lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti: rasa aman, kasih sayang), serta
sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup
selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola
interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak.
2.3 Tujuan
Pendidikan Keluarga
Tujuan pendidikan keluarga adalah memelihara,
melindungi anak sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Keluarga
merupakan kesatuan hidup bersama yang utama dikenal oleh anak sehingga disebut
lingkungan pendidikan utama.
Proses pendidikan awal di mulai sejak dalam
kandungan. Latar belakang sosial ekonomi dan budaya keluarga, keharmonisan
hubungan antar anggota keluarga, intensitas hubungan anak dengan orang tua akan
sangat mempengaruhi sikap dan perilaku anak. Keberhasilan anak di sekolah
secara empirik sangat dipengaruhi oleh besarnya dukungan orang tua dan keluarga
dalam membimbing anak.
2.4 Fungsi
Pendidikan Keluarga
Menurut MI Soelaeman (1978) keluarga memiliki beberapa
fungsi antara lain sebagai berikut :
a. Fungsi edukatif adalah
yang mengarahkan keluarga sebagai wahana pendidikan pertama dan utama bagi
anak-anaknya agar dapat menjadi manusia yang sehat, tangguh, maju dan mandiri
sesuai dengan tuntutan kebutuhan pembangunan yang semakin tinggi.
b. Fungsi sosialisasi anak
adalah keluarga memiliki tugas untuk mengantarkan dan membimbing anak agar
dapat beradaptasi dengan kehidupan sosial (masyarakat), sehingga kehadirannya
akan diterima oleh masyarakat luas.
c. Fungsi proteksi
(perlindungan) adalah keluarga berfungsi sebagai wahana atau tempat memperoleh
rasa nyaman, damai dan tentram seluruh anggota keluarganya.
d. Fungsi afeksi (perasaan)
keluarga sebagai wahana untuk menumbuhkan dan membina rasa cinta dan kasih
sayang antara sesama anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya.
e. Fungsi religius keluarga
sebagai wahana pembangunan insan-insan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, bermoral, berahlak dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran
agamanya.
f. Fungsi ekonomi
adalah keluarga sebagai wahana pemenuhan kebutuhan ekonomi fisik dan materil
yang sekaligus mendidik keluarga untuk hidup efisien, ekonomis dan rasional.
g. Fungsi rekreasi, keluarga
harus menjadi lingkungan yang nyaman, menyenangkan, cerah, ceria, hangat dan
penuh semangat.
h. Fungsi biologis, keluarga
sebagai wahana menyalurkan kebutuhan reproduksi sehat bagi semua anggota
keluarganya.
2.5 Ruang
Lingkup Pendidikan Keluarga
Untuk mengetahui ruang lingkup pendidikan keluarga
dapat diketahui dari pertanyaan “Sampai berapa jumlah tanggung jawab
keluarga dalam mendidik anak?” tampaknya ruang lingkup tidak terbatas. Sejak
anak dalam kandungan, orang tua sudah bertanggung jawab penuh atas keselamatan
dan perkembangan anak. Tanggung jawab orang tua terhadap perkembangan dan
pendidikan anaknya tampaknya lebih berpangkal pada tanggung jawab instingtif
dan moral. Dan akan bertambah ringan, apabila anak sudah mampu berdiri sendiri
karena pada akhirnya orang tua harus “melepaskan“ anaknya, supaya mampu
berdiri dan tidak lagi tergantung kepada orang tuanya.
2.6 Pentingnya
Pendidikan Dalam Keluarga
Urgensi dan strateginya penguatan institusi keluarga
sebagai wahana pengembangansumber daya manusia. Brean Frenbrenner dalam
Syakrani (2001) mengemukakan bahwa sejak dulu keluarga menjadi wahana
pembentukan karakter dan keterampilan dasar manusia.Bahkan Brenner dan Couts menjabarkan
lebih luas bahwa keluarga yang tangguh bersama lembaga keagamaan dan politik
akan menjadi pilar penyangga terbentuknya civil society.
Betapa pentingnya pendidikan keluarga bagi anak-anak
yang sedang berkembang. Pentingnya pembentukan sumber daya manusia berbasis
keluarga juga bisa dilihat dari konsep investment in children memahami
perlunya penguatan keluarga sebagai wahana pengembangan sumber daya manusia
dari sudut pandang orientasi nilai dan perkembangan daya nalar anak.
2.7 Strategi
Pendidikan Keluarga
Pendekatan pendidikan keluarga adalah secara
terpadu, seimbang antara pendekatan endogenous (menimbulkan diri
dalam) dan conditing (pembiasaan, mempengaruhi dari luar) serta enforcement
(pemaksaan). Anak-anak dalam keluarga sangat kuat proses identifikasinya
kepada orang tua dalam berbagai tingkah laku, cara berfikir dan cara menyikapi
tentang suatu keadaan. Di samping faktor keteladanan, faktor pembiasaan yang
didasarkan atas cinta kasih merupakan sarana atau alat pendidikan
yang besar pengaruhnya bagi pembentukan budi pekerti dan moral.
Di dalam keluarga yang religius terjadi interaksi
interpersonal yang bernilai sosial edukatif dan religius. Dan pendidikan agama
itu perlu disesuaikan dengan taraf kematangan anak, tingkat penalaran, emosi,
bakat, pengetahuan dan pengalamannya. Orang tua yang efektif dalam proses
pendidikan ditentukan oleh kemampuannya dalam membimbing dan mengarahkan serta
memecahkan persoalan-persoalan secara demokratis.
Strategi lain dalam mengembangkan pendidikan dalam
keluarga adalah dengan konsep tumbuh kembang anak yang pertumbuhan fisik dan
otak serta perkembangan motorik, mental, sosio-emosional dan perkembangan moral
spiritual. Ada 3 konsep penting yang mencakup aktivitas yakni pola asuh,
pola asah dan pola asih. Strategi yang dapat digunakan oleh orang
untuk mengembangkan moral dan keterampilannya, yaitu :
a. Bantulah
anak untuk menemukan sendiri tujuan hidupnya.
b. Bantulah
anak mengembangkan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan hidupnya.
c. Jadilah
figur ideal bagi anak dalam berperilaku.
d. Beri
semangat dan gugah hati anak untuk berperilaku terpuji.
PEMBAHASAN
3.1
Keluarga
Merupakan Pendidik Pertama dan Utama
Pendidikan
keluarga dipandang sebagai pendidikan pertama dan utama. Dikatakan pendidikan
pertama karena bayi atau anak itu pertama kali berkenalan dengan lingkungan
serta mendapat pembinaan pada keluarga. Pendidikan pertama ini dapat dipandang
sebagai peletak fondasi pengembangan-pengembangan berikutnya. Pendidik perlu
bertindak secara hati-hati pada pendidikan pertama ini. Kalau tidak, bias
memberikan dampak yang kurang baik pada perkembangan-perkembangan berikutnya.
Karena
sifat pekanya perkembangan-perkembangan pada awal ini membuat pendidikan ini
dikatakan sebagai pendidikan yang utama. Kepekaan perkembangan-perkembangan
awal ini tidak hanya menyangkut psikologi, tetapi juga fisiologi. Dengan kata
lain pertumbuhan jasmani pada fase-fase awal ini juga sangat peka. Memang
pertumbuhan jasmani dan perkembangan jiwa anak-anak berkaitan satu dengan yang
lain. Kalau dalam kedokteran ada dalil yang mengatakan kualitas makanan yang
diberikan kepada anak balita akan menentukan kualitas kecerdasan atau kemampuan
mereka kelak, maka dalam pendidikan ada konsep yang mengatakan bagaimana
perlakuan terhadap anak 4 tahun ke bawah seperti itulah jadinya anak itu
setelah dewasa. Dari dalil itu muncul himbauan agar keluarga member makanan
bergizi kepada anak balita agar otaknya tumbuh dengan sempurna. Begitu pula
konsep di atas membuat para orang tua memperlakukan anak-anak kecil itu dengan
baik, penuh kasih saying agar anak itu menjadi orang yang berguna kelak.
Namun
informasi yang diterima oleh orang tua berat sebelah. Informasi tentang
pentingnya memberikan makanan bergizi kepada balita lebih banyak diterima
dibandingkan dengan informasi tentang pentingnya memperlakukan anak-anak dengan
baik. Buktinya kini semakin banyak anak sehat dan cerdas, tetapi masih banyak
sekali anak-anak nakal yang membuat berbagai kerusuhan. Kenakalan ini sebagian
besar disebabkan oleh perlakuan lingkungan yang tidak benar, antara lain
terlalu keras atau disiplin kaku, kurang diperhatikan, kurang kasih sayang,
terlalu diberi kebebasan, dan sebagainya.
Kenyataan di atas tampaknya bertalian dengan kurang
intensifnya pengembangan pendidikan keluarga itu sendiri. Pendidikan keluarga,
memang belum ditangani seperti pada pendidikan jalur sekolah. Sehingga masuk
akal kalau sebagian besar keluarga tidak paham tentang cara mendidik anak-anak
dengan benar. Walaupun isi pendidikan itu sebagian besar ditekankan pada
pengembangan afeksi, seperti kerajinan, kejujuran, kesetiaan, toleransi,
disiplin, gotong royong, keimanan, ketakwaan, menghormati orang tua, bisa
berterima kasih, suka menolong, dan sebagainya. Di sini tampak masih ada yang
belum terselesaikan sampai sekarang, di satu pihak dipandangkan pendidikan ke
keluarga adalah yang pertama dan utama namun di pihak lain macam pendidikan ini
tidak ditangani secara utama atau diterlantarkan.
Oleh karena itu, keluarga adalah institusi
yang sangat berperan dalam rangka melakukan sosialisasi, bahkan internalisasi,
nilai-nilai pendidikan. Meskipun jumlah institusi pendidikan formal dari
tingkat dasar sampai ke jenjang yang paling tinggi semakin hari semakin banyak,
namun peran keluarga dalam transformasi nilai edukatif ini tetap tidak
tergantikan.
Karena itulah, peran
keluarga dalam hal ini tidak ringan sama sekali.
Bahkan bisa dikatakan, bahwa tanpa keluarga nilai-nilai pengetahuan
yang didapatkan di bangku meja formal tidak akan ada artinya sama sekali.
Sekilas memang tampak bahwa peran keluarga tidak begitu ada artinya, namun jika
direnungkan lebih dalam, siapa saja akan bisa merasakan betapa berat peran yang
disandang keluarga.
Problem yang dialami
oleh anak jalanan untuk memperoleh pendidikan salah satunya adalah minusnya, karena tidak adanya peran keluarga. Kalaupun akhirnya
mereka bersekolah, mereka hanya mendapatkan pengetahuan formal saja. Sementara
kasih sayang, sopan santun, moralitas, cinta dan berbagai nilai afektif lainnya
sulit mereka dapatkan. Mereka merasa tidak ada tempat yang baik untuk
berlindung dan mengungkapkan seluruh perasaan secara utuh dan bebas.
Umumnya mereka tidak
memiliki keluarga yang mengemban peran tersebut. Kalaupun mereka memiliki
keluarga, tidak ada situasi yang kondusif untuk saling berbagi perasaan antar
anggota dalam sebuah keluarga. Ini merupakan salah satu kesulitan yang dihadapi
oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mencoba memberdayakan ‘anak
jalanan’. Mungkin persoalan sulitnya bagaimana dia mendapatkan pendidikan
secara formal, tidak sesulit bagaimana dia memperoleh kasih sayang sejati.
Dari paparan di
aatas
kita bisa mengerti
betapa penting
peran keluarga dalam rangka
mengemban misi-misi pendidikan tidak bisa diabaikan. Di dalam keluarga
tercermin jalinan kasih dan cinta dalam mana ikatan emosional, darah dan
kekerabatan sangat mendominasi. Dengan demikian, keluarga merupakan
pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Sebagian orang secara tidak sadar mengatakan
bahwa sebenarnya peran keluarga adalah sekunder, alias hanya menjadi pelengkap
saja. Sebab pengetahuan formal sudah mereka dapatkan di bangku sekolahan.
Logika ini tidak saja keliru secara etis, tapi juga patut dipertanyakan pula
pandangan moralnya terhadap keluarga. Yang logis, keluarga justru merupakan
institusi pendidikan pertama dan utama, kemudian baru dilengkapi dengan
nilai-nilai pengetahuan yang didapatkan dari bangku sekolahan ataupun
masyarakat.
BAB
IV
KESIMPULAN
4.1
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan
wahana pertama dan utama bagi pendidik karakter anak, pertumbuhan, dan perkembangan
anak. Apabila
keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit
bagi institusi-institusi lain di luar keluarga termasuk sekolah ataupun
masyarakat untuk
memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat
pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap
keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada
pendidikan karakter anak di rumah.
terima kasih alangkah lebih baik jika ada daftar putaka dan menggunakan footnote juga jgn in note saja
BalasHapusyuk...materi diatas hrs diimplementasikan dg gerakan nyata bukan hanya jadi slogan doang...
BalasHapus